Sabtu, 14 Mei 2011

Indahnya langit, namun...

            Roda pesawat sudah tidak menyentuh tanah lagi, dengan gagah perkasa menembus gumpalan putih yang berarak di langit. Hatiku riang gembira terbawa arus kebahagiaan yang tiada tara, beberapa bulan sudah meninggalkan tanah kelahiran dan sekarang aku sedang menuju tempat itu. Kota yang sudah membesarkanku, sampai bisa menginjakkan kaki di ibukota. Setelah mengalami petualangan yang begitu panjang di daerah Sukabumi dalam rangka monitoring Sensus Penduduk 2010, aku bisa menyisihkan sedikit hasil jerih payah dari kerja kerasku untuk membiayai perjalanan ini.
            Aku duduk di dekat jendela sebelah kiri, menatap indahnya langit yang biru, memberikan rasa damai akan kuasa Sang Pencipta. “Bisa minta tissue??”, suara indah membuyarkan lamunanku. Ternyata keindahan alam sudah mengalihkanku pada keindahan yang lebih menyejukkan mata. Setelah kusodorkan sebungkus tissue, dia mengambil selembar saja dan mulai menyeka wajahnya yang manis. “Terima kasih ya, namaku Rika. Nama kamu? ”, dan kami mulai berkenalan. Dia ternyata mahasiswi Universitas Trisakti yang berasal dari daerah yang sama denganku. Dia juga berniat pulang kampung karena kampusnya sudah mulai liburan.
            Setelah sekian lama asik mengobrol dengannya, mataku tertuju pada jendela pesawat yang ada di sampingku. Dari balik itu, ku perhatikan bagian sayap kiri pesawat. Pada mesinnya, mengeluarkan asap putih. Beberapa saat kemudian para pramugara mondar-mandir di dek pesawat. Terkadang mereka membawa beberapa kotak berwarna biru, entah apa itu isinya. Pastinya kotak itu terlihat berat, karena kening mereka mengkerut saat mengangkat kotak itu.
            Situasi semakin memburuk ketika pesawat memasuki daerah awan hitam, terdapat beberapa goncangan. Awak pesawat kemudian memperingatkan agar memakai sabuk pengaman karena cuaca sedang tidak bersahabat. Tanpa ragu lagi, kukencangkan sabuk pengawan. Hawa dingin menusuk kulitku, berbagai macam perasaan yang sangat tidak enak menghantuiku. Teringat tragedi pesawat Adam Air, kemudian juga peristiwa hilangnya beberapa pesawat yang melewati segitiga Bermuda. Rika juga tampak gelisah, mulutnya tak henti-henti mengucapkan doa.
            Pesawar masih berguncang, belum juga keluar dari daerah awan hitam. Namun tak diduga, terdengar suara yag sangat keras disertai cahaya yang begitu terang menerpa pesawat kami. Seketika itu juga penerangan pesawat lumpuh total akibat sambaran petir tadi, para penumpang berteriak semua. Ada yang menangis, terutama anak kecil yang ikut perjalanan mengerikan ini. Seorang nenek tua yang duduk di sebelah Rika juga menangis tiada henti, sementara Rika semakin memperbanyak doa. Keringat dingin mengucur deras dari leherku, tubuhku gemetar hebat dan serasa ingin buang air kecil.
            Pintu ruang pilot terbuka, pilot dan komandannya keluar dengan tertunduk lesu. Kemudian pramugari dan pramuniaga turut berbaris di sebelah belakang dek. “Para penumpang sekalian, saya harap kita semua sabar dalam menghadapi cobaan ini. Kami sudah sekuat tenaga agar kita semua bisa selamat sampai ke tujuan, namun ternyata nasib berkata lain. Padahal sebelum kita lepas landas, pengecekkan kelayakkan terbang sudah dilakukan dan hasilnya memuaskan. Tapi entah kenapa terjadi kesalahan sistem saat kita berada di udara. Dan kami sangat minta maaf karena kami tak bisa menangani permasalahan ini.” . Semuanya terdiam lesu, hanya bisa berdoa dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan di dunia ini. Kemudian pesawat menukik dengan tajam, tepat menuju laut yang biru.
            Segera aku ambil secarik kertas dari tas punggung yang dari tadi ku pangku. Aku tuliskan sebuah puisi terakhir, siapa tahu mungkin ada yang akan membaca karyaku yang terakhir di dunia ini. Selesai dengan huruf terakhir, pesawat menghantam keras air laut, terhempas dan terbelah. Namun kertas puisi masih aku genggam dengan erat, tak akan ku lepaskan.
            “Zar, kita sudah sampai nih. Ayo kita turun dari pesawat ini,” Rika membangunkanku dari tidurku. Segera aku membuka ikatan sabuk pengaman, mengambil tas ransel yang ada di langit-langit dek. Kemudian aku turun melangkah meninggalkan pesawat yang mengasyikkan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar